Monday, September 7, 2009

"JOM Raikan"


JOM RAIKAN SAUDARA KITA

Menyumbanglah dengan membeli 1 meja / RM1K atau 1 kerusi / RM100 di Majlis Ifthar Perdana Saudara Baru.

Jom kita membantu Hidayah Centre membangunkan dana bagi membantu & membimbing saudara baru. Mereka adalah saudara kita.


Wednesday, September 2, 2009

... tunding ...

Sekadar murojaah buat diri dan sekaliannya, Insya`allah

Setelah sekian lama hidup berumahtangga, pasangan suami isteri tersebut mengalami masalah. Suaminya beranggapan masalah kehidupan rumah tangganya terletak pada isterinya. Si suami mengira bahawa isterinya tuli. Akhirnya suami tersebut pergi mendapatkan khidmat seorang seorang doktor.

Maka doktor menyarankan kepada lelaki tersebut ketika di rumah agar memanggil isterinya dalam jarak empat meter.

'Kalau isteri saya tidak menjawab, apakah dia benar-benar tuli, doktor?' tanya lelaki itu.

'Ooo..belum tentu lagi..kalau jarak empat meter tidak menjawab, cubalah dengan jarak dua meter,' jawab doktor lagi.

'Kalau masih tidak menjawab juga?" tanya lelaki itu perti tidak berpuas hati.

'Panggillah yang lebih dekat lagi, kalo masih tidak menjawab bererti isteri anda tuli.' kata doktor tegas.

Sesampai di rumah si suami melihat isterinya sedang menyirami bunga di halaman rumah. Dari jarak empat meter suaminya menyapa, 'Hai sayang sedang buat apa?' Pertanyaannya tidak dijawab, suaminya jadi khuatir, kalau-kalau isterinya benar-benar tuli.

Kemudian suaminya mendekat pula dengan jarak dua meter memanggil isterinya. 'Sayang, bunganya indah sekali ya..' Ternyata masih juga tidak mendengar jawapan isterinya. Dengan gagahnya suaminya berdiri lagi dekat di samping isterinya yang sedang menyiram bunga dan mengatakan dengan suara agak keras, 'Sayang, Sibuk ya? Lagi buat apa tu?'

Si isteri menoleh dengan wajah memerah menahan amarah dan mengatakan kepada suaminya. 'Kamu ini kenapa? sudah tiga kali saya jawab, sedang menyirami bunga, masih lagi bertanya.'

Begitulah seringkali kita beranggapan orang lain yang salah. Padahal sebenarnya kesalahan itu ada pada diri kita sendiri, terkadang kita tidak menyedari bahawa kesalahan itu terletak pada diri kita sendiri. Seperti lagu Ebiet G Ade, 'Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat.'

Prinsip 90/10 perti Stephen Covey, sangat simple menjelaskan dalam membantu kita menghadapi masalah. kita tidak dapat mengendalikan 10% dari kondisi yang terjadi pada diri kita. Contohnya, kita tidak dapat menghindar dari kesesakkan.

Pesawat terlambat datang dan hal ini akan membuang seluruh schedule. Kesesakkan telah menghambat seluruh rencana kita. Kita tidak dapat mengawal kondisi 10 persen ini tetapi kita dapat mengawas yang 90% . Iaitu dengan cara kita reaksi.

Kita tidak dapat mengawal lampu merah, tetapi kita dapat mengawal reaksi kita. Itulah makna lihatlah ke dalam bererti bereaksi secara positif dalam menyingkap setiap masalah. Tundinglah diri mencari makna yang hakiki.. insya`allah.

Afala Ta`kilun..

Thursday, May 21, 2009

Pegangan Senantiasa

"Sampaikanlah sesuatu kebenaran walaupun ianya pahit"



  • Mengajar kita bersikap adil pada diri, pada Agama juga tuntutan Allah
  • Melatih kita supaya benar dalam apa pun keadaan, terutama ketika bersama sahabat
  • Mendidik kita menjadi seorang yang berani
  • Menjadikan diri orang yang senanatiasa bersedia dengan segala sesuatu
  • Mengingatkan diri akan kehendak Allah Yang Maha Kuasa

Teruskan bait-bait bicaramu semata redha Allah yang didambakan, insya`allah.

Wednesday, May 20, 2009

Tarbiyah Itu Mudah. Laksanakanlah!

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (Ali Imran: 133)


Di dalam Al-Qur’an, Allah selalu menggunakan bahasa yang menggugah agar manusia jangan berlambat-lambat melainkan bersegera menuju kebaikan. Kata wa saari’uu pada ayat di atas adalah salah satu contoh. Dalam surat Al-Baqarah: 148 ada contoh yang lain lagi, Allah berfirman: fastabiqul khairaat (maka berlombalah kalian dalam kebaikan). Antara kata wa saari’uu dan fastabiquu sekalipun intinya sama, yaitu bersegera dan bergegas menuju suatu tujuan, tetapi masing-masing mempunyai makna khusus: Dalam kata wa saari’uu yang ditekankan adalah kesegeraan bergerak, tanpa sedikit pun ragu, dan tanpa bertele-tele memikirkan sesuatu di luar itu, sehingga membuatnya tidak maksimal. Begitu ada panggilan shalat misalnya, ia segera bangkit meninggalkan segala pekerjaan apapun pentingnya pekerjaan itu, karena ia tahu bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih penting dari pada shalat. Adapun kata fastabiquu lebih kepada perintah berlomba jangan sampai keduluan yang lain. Di sini terkesan ada banyak orang yang masing-masing bergerak cepat dan bersegera untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satu contoh, ketika menggambarkan bagaimana Nabi Yusuf as. dan wanita yang menggodanya sama berlomba menuju pintu Allah berfirman, “Wastabaqaal baab (dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu) (Yusuf: 25). Dalam perlombaan ada tenaga ekstra yang digunakan, segala kemampuan dikerahkan sehingga cita-cita yang diinginkan bisa diraih.


Selain istilah wa saa ri’uu dan fastabquu dalam surat Al-Hadid ayat 21 Allah menggunakan istilah saabiquu, ini pengertiannya lebih dahsyat lagi. Sebab dalam kata saabiquu terkandung makna bukan hanya bersegera atau berlomba, melainkan lebih dari itu kalahkan yang lain. Dalam hal ini seorang hamba tidak hanya diajak untuk sekadar bekerja keras, melainkan juga berkualitas. Sebab jika hanya bersegera dan berlomba tetapi tidak bisa mengalahkan yang lain secara kualitas, usaha tersebut bisa dikatakan tidak efektif. Simaklah firman Allah mengenai makna saabiquu tersebut, “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”.


Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur’an telah begitu dalam menggugah agar umat Islam tidak menjadi umat yang berleha-leha. Melainkan umat pionir dalam segala kebaikan. Tidak ada rumus istirahat dalam Al-Qur’an, maka begitu seseorang mengaku sebagai hamba Allah di saat yang sama segera bergerak melakukan segala kebaikan yang tak terhingga luasnya: dari sejak bangun tidur sampai tidur kembali, dan dari urusan masuk kamar mandi sampai urusan kenegaraan. Semua dalam Islam ada aturannya, yang jika itu semua diikuti dengan niat ketaatan kepada Allah, akan menjadi potensi kebaikan yang luar biasa pahalanya.


Lebih jauh, mengapa Allah menggunakan istilah yang begitu menekankan keharusan untuk bersegera dalam kebaikan? Pertama, bahwa melakukan dan menyebarkan kebaikan (al-khairaat) adalah tugas pokok setiap insan. Tanpa kebaikan Allah manusia di muka bumi ini bisa dipastikan telah musnah sejak ratusan tahun yang silam. Dalam surat Abasa 80/20 Allah berfirman, “Tsummas sabiila yassarah” (Kemudian Dia memudahkan jalannya). Maksudnya Allah permudah segala yang menjadi kebutuhan manusia baik secara fisik maupun secara rohani. Dari segi kebutuhan fisik Allah turunkan hujan dari langit dan pancarkan air dari bumi dengannya manusia, Allah tumbuhkan pohonan yang berbuah dengannya manusia bisa makan dan lain sebagainya. Adapun dari segi kebutuhan rohani Allah utus nabi-nabi yang mengajarkan al kitab, lalu kepada nabi terakhir Muhammad saw. Allah turunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Maka tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak berbuat baik. Kedua, bahwa usia manusia terbatas, dan tidak ada seorang pun tahu kapan ia akan meninggal dunia. Allah berfirman, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (Al-A’raaf: 34). Karena itu seorang hamba hendaknya segera melakukan kebaikan. Jika tidak, ia akan menjadi orang yang paling sengsara tidak hanya di dunia melainkan lebih dari itu di akhirat.


Pada ayat di atas Allah berfirman, “wa saari’uu ilaa maghfiratin mirrabbikum” lalu dalam surat Al hadid: saabiquu ilaa maghfiratin mirrabbikum sementara dalam surat Al-Baqarah, “fastabiqul khairaat.” Apa beda antara maghfirah (ampunan) dan al khiraat (kebaikan)? Imam An-Nawawi dalam bukunya Riyadhus Shaalihiin h.58-61 menyebutkan beberapa hadits untuk menerangkan makna bergegas meraih ampunan dan melakukan kebaikan:


Pertama, dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal yang shalih, karena akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dimana ada seseorang pada waktu pagi ia beriman tapi pada waktu sore ia kafir, pada waktu sore ia beriman tapi pada waktu pagi ia kafir, ia rela menukar agamanya dengan sedikit keuntungan dunia. (H.R. Muslim)


Kedua, dari Abu Sirwa’ah ‘Ukbah bin Al-Harist ra. Berkata, “Saya shalat Ashar di belakang Nabi saw. di Madinah setelah salam beliau terus cepat-cepat bangkit melangkahi leher barisan para sahabat menuju kamar salah satu istrinya. Para sahabat terkejut atas ketergesaannya itu kemudian beliau keluar dan melihat para sahabat terkejut atas ketergesaannya itu beliau bersabda, “Aku ingat sepotong emas dan aku tidak ingin terganggu karenanya maka aku menyuruh untuk membagikannya.” (H.R. Bukhari)


Ketiga, dari Jabir ra. mengatakan bahwa pada perang Uhud ada seseorang bertanya kepada Nabi saw, “Apakah tuan tahu, seandainya saya terbunuh maka di manakah tempat saya? Beliau menjawab, “Si dalam surga. Kemudian orang itu melemparkan biji-biji korma yang ada di tangannya lantas maju perang sehingga ia mati terbunuh. (H.R. Bukhari-Muslim)


Keempat, dari Abu Hurairah ra. mengatakan bahwa ada seseorang datang kepada Nabi saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya? Beliau menjawab, “Yaitu kamu sedekah sedangkan kamu masih sehat, suka harta, takut miskin dan masih ingin kaya. Dan janganlah kamu menunda-nunda sehingga bila nyawa sudah sampai di tenggorokan (sekarat) maka kamu baru berkata: untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian, padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris) (H.R. Bukhari dan Muslim).


Kelima, dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah saw. pada perang Uhud mengambil pedang seraya bersabda: siapakah yang mau menerima pedang ini? Maka setiap orang mengulurkan tangannya sambil berkata: saya, saya. Beliau bersabda lagi, “Siapa yang mau mengambilnya dengan penuh tanggung jawab? Maka semua orang terdiam, kemudian Abu Dujanah ra. berkata: saya akan menerimanya dengan penuh tanggung jawab. Maka pedang itu diberikan kepada Abu Dujanah kemudian ia mempergunakannya untuk memenggal leher orang-orang musyrik. (H.R. Muslim)


Keenam, dari Zubair bin ‘Adi berkata: kami datang kepada Anas ra. dan mengadukan masalah penderitaan yang kami hadapi atas kekejaman Al-Hajjaj, kemudian Anas menjawab: sabarlah kamu sekalian, sesungguhnya nanti akan datang suatu masa dimana penderitaan lebih berat lagi, sehingga kamu sekalian bertemu dengan Tuhanmu (mati), saya mendengar itu dari Nabi saw. (H.R. Bukhari)


Ketujuh, dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Bersegeralah kamu sekalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal: apakah yang kamu nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahkan segalanya atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat adalah suatu yang sangat berat dan menakutkan. (H.R. Tirmidzi)


Kedelapan, dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Saya akan benar-benar menyerahkan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan rasul-Nya, dimana Allah akan mengaruniakan kemenangan kepadanya. Umar ra berkata, “Saya tidak ingin memegang pimpinan kecuali pada hari ini, maka saya menunjukkan diri dengan harapan dipanggil oleh Nabi saw. untuk memimpinnya. Tetapi Rasulullah memanggil Ali bin Abu Thalib dan menyerahkan panji itu kepadanya seraya bersabda, “Majulah ke depan dan janganlah kamu menoleh ke belakang sebelum Allah memberi kemenangan kepadamu. Kemudian Ali melangkah beberapa langkah lantas berhenti tetapi tidak menoleh ke belakang dan berteriak: wahai Rasulullah, kepada siapakah saya harus berperang?” Beliau menjawab, “Perangilah mereka sehingga mereka menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. apabila mereka telah menyaksikan yang demikian itu maka kamu tidak boleh lagi memerangi mereka baik darah maupun harta bendanya kecuali dengan haknya, adapun masalah perhitungan mereka adalah terserah Allah. (H.R. Muslim)


Afala TA`kilun...

Tuesday, May 19, 2009

Fikirkan 2

لاَ تُؤَخِّرْ عَمَلَ اْليَوْمِ لِغَدٍ

“Janganlah mengakhirkan pekerjaan hari ini hingga hari esok”


Monday, May 18, 2009

Muka 45

“Oh, begitu!” jawabku ringkas. ‘Ikhwan itu lagi!’ bisik hatiku. Entah kenapa setiap kali nama Ikhwan itu kedengaran. Hatiku berdesir dan bergetar hebat.


“Oh, jadi Akh Ridzuan ikut serta juga mengembangkan dakwah di desa itu?” soalku ingin tahu lagi.


“Mestilah. Kan Akh Ridzuan yang pertama kali menemui desa itu. Yang pertama kali, membina anak-anak desa itu. Lalu, setelah itu membina para bapa-bapanya. Kalau enti tahu, pasti enti akan kaget. Siapa bapa-bapa para anak-anak yang ada di desa itu!” Salmah terlihat begitu serius sekali.


Sahabat akhowat yang lain sepi. Mendengarkan bicara kami berdua. Malah ada yang sudah terlena. Perjalanan yang memakan masa sejam setengah ini, amat lama dirasakan sekiranya tidak disaluti dengan bicara yang bermanfaat. Selain itu, dari sini juga kami merapatkan ukhwah sesama setelah sedia terjalin.


Aku mengikuti ini atas program jalinan bersama Jaringan Nasional Belia Mapan juga Biro Dakwah dan Pembangunan Insan. Kereta Avanza yang dipandu Ainul bergerak dengan kelajuan sederhana. Jalan agak sepi juga tika remang-remang senja kelihatan. Mungkin juga alasan lain, minyak sangat ketara naik harganya. Maka kenderaan peribadi agak kurang digunakan. Dan menjadi perhatianlah pengangkutan awam, seperti bas mahupun teksi. Perjalanan kami terus ke Seremban. Semuanya 8 orang yang menyertai misi kami ini, adalah orang Negeri Sembilan juga. Bukan asobiyyah. Tetapi segalanya kebetulan dan Perancangan Tuhan itu adalah sebaik-baik perancangan.



“Siapa ukht? Berilah tau. Jangan tinggal tanda tanya buat ana ya.” Aku benar-benar penasaran. Dan tawaku terselit dihujung bicara.


“Bapa-bapa kat desa tu kebanyakan mereka adalah kaki rayau, peminum!”


“HAH! Kaki rayau? Peminum?” ucapku terkejut. ‘Masya`allah, golongan sebegitu mampu dibina oleh Akh Ridzuan! Sungguh dakwah tidak hanya berada di masjid. Tetapi berada dimana-mana!’ Gumamku dalam hati. Semakin menjadikan kekagumanku dengan Al Akh yang seorang itu.


“Begitulah ukht! Akhirnya Akh Ridzuan mencuba membentuk pengajian untuk para ibu. Dan diserahkan kepada akhowat-akhowat BDDPI. Enti kan tahu, akhowat-akhowat BDDPI masih belum berapa berpengalaman. Akhirnya, kami memilih enti. Kerana kami melihat enti lebih berpengalaman dalam perkara ini!”


“Aaahh, tidak juga! Ana sama saja seperti enti juga sahabat yang lain” Ucapku merendah diri. ‘Masya`allah, benar-benar berat amanahku. Lagi berat yang terpikul di pundak Akh Riz.’ Salmah tersenyum.


“Siapa yang tak kenal ukht Athirah! Apalagi beliau adalah mantan setiausaha BDDPI MPP. Merangkap tangan kanan bagi Akh Ridzuan!” Goda Salmah sambil jelingan nya buatku.


‘JANGAN… jangan sebut nama itu lagi. Jantungku sudah tidak kuat untuk menerima nama jundi itu.’ Teriakku dalam hati.


“Enti ni. Sampai ke situ pula!” Ucapku cuba mengalihkan perhatiannya.


Melewati persimpangan lingkungan Bukit putus agak sesak. Sahabat-sahabat yang lena tadi, sudah terjaga. Hampir jam 745 minit malam. Kenderaan yang dipandu Ainul telah melepasi jalan Pusat Dakwah.


“Singgah rumah ana dulu bagaimana ukht sekalian?”


Masing-masing antara kami berbasa basi. Ingin terus pulang ke rumah membersihkan diri. Dan terus melaksanakan tuntutan yang diperintahi.


***


Tilawah sudah usai dikerjakan. Entah kenapa ingin sekali menonton siaran tv. Sudah sangat lama, aku tidak menonton. Memang amat jauh aku dengan teknologi yang satu ini. Walau dekatnya amat denganku. Dulu aku gemar menonton berita utama, namun semenjak penyampaiannya yang memang hipokrit dan penipuan belaka. Aku terus henti mendengarkan berita. Tetapi sesekali aku menonton siaran untuk makanan rohaniku seperti Al-Kuliyyah dan kadang-kadang Forum Perdana.


Dengan malas, aku mencapai remote untuk menyalakan tv. Saat itu sedang bersiaran Berita Buletin Utama. ‘Ahh, 10 minit lagi habis. Siaran apa selepas ini ya?


Aku tidak menunggu berita itu habis. Kucapai sebuah vcd yang terbaru dirak yang tersusun akannya. Memasangkannya. Vcd ini belum pernah kutonton. Cuma mendengar umi juga kakak saudarku bercerita suatu ketika.


“Kononnya bernuansa Islami. Hakikatnya mengelabui mata yang menontoni.” Begitulah kata Kak Nurjannah. Kakak saudaraku.


HIDAYAH, itulah tajuknya. Filem dari Tanah Seberang.


“Ermm bagus juga ni!”


Sesaat aku menonton sinetron itu. Dari sinopsis ceritanya yang terdapat di belakang cover vcd itu seakan bagus. Tetapi sayang sekali dari artisnya masih bebas mempertontonkan aurat-auratnya.


“Bagaimana kalau, masyarakat meniru gaya berpakaian seperti mereka? Ishh.. Na`uudzubillah tercurah kata hati ini. Ternyata sama sekali tidak Islami. Dari judulnya saja seperti filem yang Islami. Ternyata dalamnya, sama saja dengan filem yang lainnya. Apalagi, mempersepsikan seorang lelaki yang berpoligami dengan tidak menepati. Bertindak sewenangnya terhadap isterinya. Ini sama sahaja menghasut seseorang untuk melanggar Syariat Islam. Apalagi, ini termasuk menyatakan bahawa poligami akan terus menggambarkan yang tidak baik dimata masyarakat. ‘Aku sangat tidak setuju.’



‘Benarlah ini mengelabui mata penonton.’ Memutar belitkan Ajaran Islam namanya. Memang, sering terjadi poligami dianggap sebuah malapetaka bagi sesebuah keluarga. Tetapi, seharusnya bukan poligaminya yang dipersepsikan serupa itu. Seperti malapetaka yang sangat besar melanda. Sewajarnya lelaki yang melakukan poligami itulah yang menjadi punca masalah. Kerana Akidah dan Akhlaknya masih belum mengetahui ajaran Rasulullah yang sebenarnya. Maka itulah punca utamanya kepincangan ketika poligami. Bukan kerana poligami. Jadi sama sahaja, jika ada yang akan mengatakan bahawa tidak akan pernah boleh adil seorang lelaki yang berpoligami. Malah seharusnya, ungkapan itu dibalikkan. Menjadi seperti ini, tidak akan mampu adil lelaki yang tidak berpoligami. Kerana jelas bahawa poligami itulah yang menjadikan ujian suami menjadi adil atau tidak. Dan adil itu sendirilah, nantinya yang menghantarkan seorang lelaki itu menuju Jahannam atau Jannah Illahi.


Bosan melihat tayangan-tayangan menyedihkan itu. Maksud menyedihkan bagiku itu ialah kerana tidak berlandaskan Al Quran. “KLIK.” Aku matikan saja vcd itu. Lebih baik aku lena. Mengidam bermimpikan berjuang bersama mujahidah-mujahidah fi sabilillah. Bermimpi tentang indahnya bertemu dengan wanita termulia di dunia. Bermimpi tentang segala perjuangan. Bermimpi tentang indahnya kemenangan. Dan saat aku bangun. Semua mimpi-mimpiku menjadi nyata. Akan tetapi, tidak semudah yang aku fikirkan.


“Ya Allah untuk-Mu lah aku tidur. Dan untukMu lah aku bangun. Dan bangunkanlah aku di sepertiga malam-Mu.” Doaku lirih dn perlahan sekali.


***


*** Bersambung

Friday, May 15, 2009

Muka 40

Bagaimana ukht. Dah siap?” Tanya ukht Salmah.


“Insya`allah, alhamdulillah ana dah siap!” Ucapku pasti.


“Tapi Ukht, kat sana tempatnya sangat kotor.” Salmah terlihat khuatir.


“Insya`allah. Medan dakwah yang berliku-liku, sudah ana lewati. Tinggal enti memberikan medan dakwah yang lainnya. Yang lebih mencabar dan menduga. Ana sudah siap untuk ke medan jihad itu. Jangan khuatir. Berdakwah seharusnya tidak mengira tempat.” Jawabku mantap dan meyakinkan.


“Baiklah ukht. Ana serahkan kepada enti. Ana tahu, enti lebih berpengalaman dari kami. Makanya ana ingin enti ikut serta dengan kami. Ana juga ingin memastikan, apakah enti Siap. Sama ada dari segi spritual juga mental. Alhamdulillah gayanya segak sekali!”


“Insya`allah, ana akan selalu bersedia untuk panggilan jihad! Demi dakwah kita. Ana akan selalu bersedia!”


Salmah telah memberikan amanah dakwah kepadaku. Tidak mungkin untuk aku melepaskan apalagi mempersiakan amanah itu. Meskipun amanah dakwahku juga sangat banyak. Aku harus tetap melaksanakan yang terbaik, demi jihad fi sabilillah. Demi untuk meraih Syurga yang dijanjikan Yang Maha Esa.


Beberapa amanah dakwah membuat aku benar-benar merasakan hidup lebih hidup iaitu sangat bererti meskipun memang bahu ini terasa amat berat memikulnya. Tetapi amanah-amanah yang telah diberikan, tidak boleh dinafikan. Selagi amanah-amanah itu, tidak diamanahkan secara sembarangan dan bersesuaian pada keadannya.


Tujuan kami ke desa yang terpencil. Kotor lagi tidak menyelesakan. Namun dengan niat yang utama lillahi Ta`ala, aku bersama akhowat yang dipertanggungjawabkan sedia berkhidmat untuk menyampaikan dakwah melaui tarbiyah. Ya banyak kekurangan yang tampak sini sana, di sepanjang kawasan yang kami masuki, sebelum tiba ke destinasi yang ditujui.


Banting juga sepanduk yang dibuat ikhwan Fakulti Pengajian Islam, BDDPI telah terlihat dengan jelasnya menyambut kehadiran kami. Desa asing yang banyak kekurangan, telah terbau yang kurang enak. Memang mencabar sekali. Juga menduga iman. Aura-aura kejahilan dengan ilmu juga panduan terpapar jelas. Dengan anak-anak gadis yang sewenangnya duduk berduaan bersama Kaum Adam.


Selain itu ana-anak bebas sekali tak berpakaian. Berpakaian tetapi telanjang juga didapati di sini. Bukan kekurangan segala itu, tetapi mereka ziro ilmu agama. Dan persoalan di benakku, ‘amat berat berdakwah di kelompok yang seperti ini. Berbeza seperti yang sebelum-sebelumnya yang masih terdapat kelompok yang mematuhi peraturan Tuhan Pencipta Sekalian Alam.


Ternyata masih banyak saudara-saudara Umat Islam di negara kita yang sangat menderita. Menderita kerana kemiskinan dan penderitaan Akidah pun mereka rasakan juga. Dengan pasti, aku dangan akhowat-akhowat lain. Berjalan. Seiringan. Tak lama, Salmah berhenti disebuah rumah.


“Alhamdulillah. Kita dah sampai.” Salmah menunjukkan sebuah rumah. Rumah yang terlihat sedikit lebih selesa dari luarannya berbanding rumah yang lainnya.


“Assalamualaikum Warahmatullah.” Sapa Salmah kepada seorang wanita separuh abad yang menyambut kehadiran kami di muka pintu. Tergambar riak wajahnya yang amat senang sekali dengan kehadiran kami.


“Waalaikumsalam nak. Mari. Mari masuk. Maaflah ya nak, rumah makcik tunggang langgang.” Ujar wanita itu tika kami bergantian menyalaminya.


“Tak mengapa Makcik Leha. Jangan susah-susah pula kerana kami.” Tegur Salmah seakan sudah kenal lama dengan makcik Leha itu.


“Oh, tidaklah nak. Makcik senang dengan kehadiran kamu ke tempat makcik ni.” Ucap makcik Leha, sambil mempersilakan kami duduk.


“Makcik Leha. Ana nak memperkenalkan ustazahnya!” Ucap Salmah sambil mengukir senyum dibibirnya.


“Oh, ya!” Jawab Makcik Leha sambil duduk bersila seperti kami.


“Ini Ustazah Athirah.” Ujar Salmah sambil menunjuk jarinya ke arahku.


Aku hanya tersenyum dan mengangguk.


“Namanya Athirah Binti Amir Zulqarnain. Nanti Ustazah Athirah ini yang akan memberi pengajian di kampung ini. Termasuk, juga teman-teman ana yang lain ini akan mengikuti pengajian Ustazah Athirah di sini!” Ucap Salmah memperjelaskan lanjut.


“Insya`allah.” Jawabku perlahan. Sangat berbeza sekali dengan kondisi di rumahku. Kampung ini benar-benar akan menjadikan ladang tarbiyah dan menuai pahala. Yang representative boleh aku dapatkan. Dan ini adalah tugas yang berat bagiku. ‘Ya Allah kuatkan semangat dan kesabaranku dalam menempuh perjuangan di sini.’ Luahku di dasar hati.


Makcik Leha tersenyum melihat ke arahku.


“Hebat anak ini ya. Masih muda dan amat cantik, sudah menjadi ustazah.” Pujinya.


“Apalagi belum bernikah tu makcik! Kalau makcik ada anak lelaki, bolehlah dijodohkan dengan Ustazah Athirah tu? Hehee...” Celah Hazlinda. Yang akhirnya membuatkan aku tersipu tetapi di sudut hati amat geram dengan celahannya yang tak berlesen langsung. ‘Akhowat yang seorang ini, apalah yang dibicarakannya. Geram sungguh.’ protesku.


Di balik langsir, penutup ruang dalam. Muncul seorang pemuda, dia berjalan menuju kedepan dengan langkah yang menunduk-nunduk sopan.juga mungkin malu dengan kami yang hanya Kaum Hawa.


“Itu anak makcik. Namanya Nadzri.” Kami sekalian hanya menganggukkan kepala. Tiada kata untuk membalasnya.


“Oh ya, Ustazah Athirah tinggal di mana?” Tanya Leha memecahkan suasana yang sunyi beberapa ketika tadi.


Aku serba salah untuk menjawabnya. Jangan sampai aku terkatakan rumahku dikawasan cemara indah! Dan jika begitu tentu akan membuatkan Makcik Leha jadi segan denganku. Bukan kerana agamaku, tetapi kerana kekayaan orang tuaku. Gumamku dalam hati. ‘aduuhhh..’



“Ana tinggal di Seremban. ” jawabku setepatnya.


Makcik Leha hanya menganggukkan kepalanya dengan senyuman terukir indah. Beberapa akhowat yang menyertai cuba mengertikan maksud jawapanku itu.


“Bila kita akan memulakan pengajian ini?” Ucap Makcik Leha.


“Lebih baik, secepatnya makcik!” Ucapku.


“Baiklah, kalau begitu minggu depan mula. Bagaimana?” Makcik Leha terlihat bersemangat sekali.


“Ya bagus tu makcik! Tempatnya di mana makcik?” Tanyaku.


“Bagaimana kalau di sini saja. Di rumah makcik ini.” Makcik Leha menawarkan.


“Ya tak mengapa.” Jawabku. Yang akhirnya diikuti oleh teman-teman.


Terlihat senja memerah. Menandakan senja bakal hadir. Panas mentari tidak lagi segarang disiang hari. Aku dan teman-teman terus minta diri.


Dalam perjalanan pulang kami pun berbincang-bincang tentang misi dakwah ini.


“Enti, dapat tahu dari mana desa yang terpencil tadi tu?” Tanyaku kepada Salmah. Ingin sangat tahu.


“Oh, Sebenarnya enti, bukan ana yang tahu dulu. Tetapi Akh Ridzuan yang telah dulu masuk ke desa terpencil itu bersama ra`is Akh Iskandar. Saat itu, Akh Ridzuan melihat ladang dakwah desa terpencil itu terbentang luas.” Ucap Salmah tegas lagi serius. Namun senyuman di bibirnya masih tampak.


Thursday, May 14, 2009

Fikirkan 1


يَأْتِيْكَ كُلُّ غَدٍ بِمَا فِيْهِ


“Hari esok akan mendatangimu dengan segala sesuatu yang ada padanya”

Wednesday, May 13, 2009

Bicara Dua

2

Memang banyak sekali akhowat-akhowat yang melampaui batas. Memandang seorang wanita yang tidak bertudung, dengan tatapan yang merendahkan. Sepertinya, akhowat itulah yang paling tinggi darjatnya. Padahal, seorang wanita yang tidak bertudung, adalah sebuah objek dakwah yang sudah pasti dan wajar mempamerkan akhlak yang santun.

Tuesday, May 12, 2009

Muka 34

Umi tersenyum penuh erti. Tandanya memahami. Gembira sekali riak wajahnya.


“Irah sudah menjadi wanita muslimah yang dewasa. Penyenang hati umi dan keluarga. Umi senang sekali mendengan kata Irah tadi. Tak menyangka sama sekali.” Aku hanya senyum dan beberapa ketika aku membalas.


Aku mencapai gelas berisi air suam, air kesukaanku. ‘Ahhh.. nikmatnya serasa tika air membasahi kerongkongku dan menolak makanan yang kumakan ke tempatnya. Ahh.. nikmatnya. Nikmat manakah yang harus aku dustai?’ ingatanku pada maksud Surah Ar Rahman ayat Al Quran yang banyak ulangnya ini.


“Irah masih budak kecil lagi lah umi. Lihatlah ke mana pergi tak pernah orang mengatakan yang Irah dah habis sekolah. Hehee...” Umi tersenyum dengan jawapanku. Tangannya mengusap jemariku yang baru selesai dilap. Terasa sangat senang sekali aku diperlakukan sedemikian oleh umi. Tangannya yang kanan mengusap lembut rambut panjangku yang sengaja malam ini aku tidak menutupnya. Ingin menyenangkan hati umi. Asyik sekali rasanya dibelai umi yang menyayangi lagi memahami.


Setelah lama berbual bicara bersama umi. Tidak ketinggalan tentang abi.sedikit sebanyak, perasaan rinduku pada abi terasa. Umi pastilah lebih-lebih lagi. Aku mengemaskan meja makan dan umi telah masuk ke kamarnya. Usai mengemas, aku terus ke tingkat atas ke kamarku. Sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur, berwuduk, Solat Sunat dan melantunkan Bacaan Ayat-Ayat Suci Al Quran. Setelah itu aku menelaah terjemahan ayatnya. Dan kesempatan malam yang sunyi itu, aku sering menghabiskan masa dengan beruzlah bersama Pencipta. Bermuhasabah sentiasa kulakukan. Selain itu tak kulupakan membaca beberapa buku juga kitab sebagai makanan rohani. Dan masa untukku berkarya juga ada. Hingga terkadang lenaku hanya seketika sahaja. Namun aku tidak lupa akan ayat Allah yang satu ini, ‘Dan malam dijadikan untuk hambanya beristirehat.’ Begitulah yang termaktub dalam Al Quran. Maka tidak aku persiakan anugerahNya.


Aku memasang cita-cita khatam Quran sebanyak 10 kali dalam setahun. Maka akan aku laksanakan sebagaimana tahun yang sebelumnya. Dan impianku memahami semua isi Al Quran suatu ketika nanti. Dan akulah sedang mengejar semua itu. ‘Bi iznillah’ balas diriku sendiri.


Lenaku disaluti bacaan Istighfar, 3 Qul juga doa-doa pendek sebagai bekalan.


***


Pagi begitu cerah. Pepohon daunnya dibasahi embun. Dengan kicauan burung yang mengalun. Menjadikan pagi itu begitu sempurna. Saling ada kaitannya. Membugarkan hatiku juga diri merasakan nyaman sekali. Tak ketinggalan Kopi Radix peneman minum pagiku semanjak kuketahui produk ini produk Islami berserta bahan-bahan alami dari tumbuhan dan hasil bumi seperti akar kayu. Dan seringlah aku menyarankan Produk Islam ini pada sahabat-sahabat.


Seharusnya kerja-kerja yang harus diselesaikan telah aku sempurnakan. Dimulai dengan mandi sebelum Subuh, Solat Sunat, Solat Subuh juga yang pasti tak pernah aku tinggalkan sejak di bangku sekolah menengah lagi, Bacaan Ma`tsurat, Bacaan Ayat Quran, bersenam ringkas di kamar dan yang terakhir menikmati pagi hari bersama segelas Kopi Radix dan sedikit kuih muih bersama umi. Dan setelah usai yang itu, kadang-kadang aku mengemaskan rumah juga sekitarnya membantu Makcik Qamariah. Itulah rutinku tika di rumah.


“Athirah tak pergi mana-mana ke hari ini?” soal umi pada pagi itu, saat aku mentelaah di sofa lembut warna hijau kesukaan abi. Aku segera menoleh. Menutup Kitab yang ditangan iaitu Petunjuk Berdakwah Dengan Berkesan, karangan Dr `aidh Abdullah Al Qarni.


“Insya`allah tak ke mana-mana umi. Kenapa mi?”


“Oh ye ke? Umi nak ajak pergi jalan-jalan. Haa.. umi nak cari tudung di Butik Muslimat tu. Apa Irah nak juga? Marilah ikut temankan umi. Tentu Irah rambang mata nanti. Hehee..” kata umi sakan, sempat mempromosi dan memancing anaknya.


“Ermmm.. Umi, Irah teringin nak hidup zuhud. Tidak bermegah-megahan. Lagipun kan umi, tudung Irah masih boleh dipakai lagi. Buat apa banyak-banyak kat almari. Tapi pakainya tetap satu saja kan.” Balasku perlahan dan mengharapkan pengertian umi.


Umi tersenyum. Seperti senyumannya malam tadi. Aku amat senang sekali menyaksikan senyuman itu.


Alhamdulillahi Rabbil `alamiin. Anakku benar-benar telah dewasa. Sayang, bukan beerti zuhud itu mengetepikan keindahan. Bukankah Allah lebih suka pada keindahan. Dan umi membeli itu bukan semata-mata keinginan. Tetapi lebih berdasarkan keperluan umi sayang. Dan telah banyak tudung yang umi agihkan kepada sahabat juga yang memerlukan wahai anakku.”


“Okey umi, Irah ikut umi.” Balasku tegas dan ceria. Kerana aku tidak mengetahui akan sebenar hakikat tujuan umi tadi.


“Okey. Terima kasih Athirah. Insya`allah jam sebelas kita pergi ya.” Senyumannya terukir sentiasa. Umi terus berlalu ke dapur untuk membantu Makcik Qamariah, pembantu dirumahku. Namun dia sudah sebahagian keluargaku.


Aku menuju ke mini library di tingkat atas. Mengambil konsentrasi yang aman dan selesa membaca buku. Buku tadi yang masih di tangan kubawa bersama. Ingin terus aku menghabiskan bacaan ini. Khusyuk sekali aku alami di sini. Jam di atas meja belajar di kamar buku itu menunjukkan jam 1035 minit pagi. Tersentak diri jadinya. Sudah lama aku mentelaah. Teringat ajakan umi yang ingin ke Butik Muslimah, bingkas kubangun dan terus beredar dari perpustakaan kecil itu.


Bersiap untuk menemani umi. Dan beberapa ketika kedengaran suara umi.


“Irah, dah siap belum?” teriak umi di luar pintu kamarku.”


“Baiklah umi. Sekejap sahaja lagi. Ni nak membetulkan tudung.” Sahutku


“Okeylah, umi tunggu di bawah ya.”


“Ya umi.” Ringks juga balasku


Beberapa minit kemudian, aku keluar dari kamar dan terus menuruni anak-anak tangga menuju ke bawah. Bersama tudung labuh serta sepasang baju kurung berwarna biru menghiasi diri. Seperti kebiasaanku yang senantiasa menutup aurat ke mana pergi. Segalanya itu adalah pelindung dari mata-mata jahil yang melihatku. ‘Na`uudzubillahi mindzalik’ detak hatiku.


“Okey umi. Dah siap dah.” Aku menyapa umi yang sedang membaca akhbar pilihan ramai Halaqah yang di halaman rumah berhadapan dengan tempat letak kereta.


Kami menaiki kereta Honda Civic metalic milik Abi. Pemandu sudah sedia di dalam perut kereta. Umi agak kurang mahir memandu kerana abi sering melarang umi memandu. Melainkan benar-benar ada keperluan tertentu. Kalau tidak kami menggunakan pemandu yang telah sedia ada. Arahan abi tidak sama sekali dingkari walaupun abi selalu tiada berikutan urusan kerjanya juga jamaah yang diikutinya.


Abi adalah seorang lelaki yag aku kagumi. Jihad Fi Sabilillah tujuan hidupnya. Istiqamah pegangannya. Qana`ah sifatnya. Itulah dia abiku. Rindu pada abi semakin membuak pula rasanya.


Aku suka memandang gelagat manusia yang terdapat di sekitar jalan yang dilalui. Tak kira menaiki apa, aku memang suka memandang pamandangan. Di jalan yang dilewati pada siang itu agak lengang. Banyak juga orang yang berjalan kaki. Maklum sahajalah dengan keadaan harga minyak juga petrol yang naiknya amat mendadak sekali. Maka dikesempatan itu mereka benjalan kaki disekitar tempat yang dekat. Mungkin. ‘Di setiap kesulitan pasti ada kesenangan. Dan disetiap kesulitan pasti ada kesenangan’ begitulah janji Allah Subhanahu Wata`ala dalam Al Quran, Surah Insyirah. Itulah peganganku. Hati kecilku terus berbicara.


Pemandu abiku ini agak berusia orangnya. Peramah diajak bicara. Juga santun lagaknya. Pakcik Zainal, sering bercerita kisah Nabi padaku, saat kecil. Banyak ilmu agamanya. Rajin juga membaca. Keluarganya juga amat rapat dengan keluargaku. Antara kami dengannya atau dengan sesiapa pun tiada penghalang untuk bersilaturrahim walaupun dia adalah pekerja. Begitulah yang telah abi juga umiku ajarkan padaku dan anak-anaknya yang lain. Pemanduannya agak sederhana laju. Keadaan juga tidak banyak kelihatan.


Aku terkesima seketika dari bicara sendiri oleh hati ini kerana terlihat susuk tubuh yang kukenal berjalan kaki. Dan pasti dia tidak mengetahui yang aku memandangnya. Cermin kereta abiku ini agak gelap. Dari dalam dapat melihat yang diluar. Tetapi tidak sebaliknya.


‘Ah.. betul ke tu dia?’ soalku sendiri. Aku jadi kaget. Bingung juga. ‘Oh betullah dia! Ya tak salah lagi, dialah Akh Ridzuan!’


Aku amat dekat dengannya. Saat dia ingin menyeberang jalan, aku hanya memerhati bersama perasaan yang mengalir sendiri. Tersenyum. Berbunganya hati tiada taranya. Ikhwan itu yang membuatkan aku menjadi muslimah yang disegani. Ikhwan itu yang kerap menghentam saat kealpaanku. Dan ikhwan itu jugalah yang membuatkan aku tidak keruan. Sebagaimana hadir fitrah yang amat dinikmati seluruh makhlukNya. Sebenarnya, aku tidak berani untuk menatap matanya, apalagi memandang tubuhnya. Dan sekarang jantugku berdengup kencang kerana hadir suatu perasaan aneh. ‘Entah kenapalah...’ luahku setiap kali bertemu mahupun berhadapan dengannya. Sudah lama aku tidak bersua dengannya. Kerana masing-masing amat sibuk dengan tugas.


Entah kenapa aku sangat gembira bertemunya walau hanya aku yang merasa. Aku teringat saat pergi berdakwah di perkampungan orang asli di sebuah Negeri Pantai Barat. Dia amat serasi dengan kehidupan kampung. Walau agak kumuh dan kurang menyenangkan. Aku melihatnya seperti seorang mujahid yang melangkah tegas bersama Tentera Allah. Seorang pejuang yang amat mendambakan Syurga balasan. Seorang yang tiada hentinya berdakwah dalam arus yang tidak kira apa pun. Seorang lelaki yang tidak merasakan kekurangan dalam segala hal selain pahala. ‘Ya Allah, teguhkan dan tetapkanlah hatinya di jalanMu. Ya Allah, aku mengkagumi dirinya. Dan pastinya aku tidak layak mendampinginya. Sungguh dia seorang mujahid yang tegar dalam perjuangan Agamamu Ya Allah.’ Luah hati. Dia amat tegas dalam soal Agama. Walau banyak yang amat membantah akan caranya. Namun dia tidak gentar. ‘Subhanallah Wal hamdulillah Wala Ilaha Illallah Wallahu Akbar.’ Ucapku lirih dalam hati.


“Irah, kenapa ni? Dari tadi senyum-senyum sendiri umi tengok.” Umi menyentakkan lamunanku.


“Tak ada apa-apa umi. Teringat dengan situasi sekarang ni. Dah ramai yang jalan kaki dari guna kenderaan. Maklumlah minyak harganya dah melambung naik.” jawabku dengan selamba dan sama sekali ingin membuat perhatian umi berdalih.


“Ah.. takkan tak ada apa-apa? Pasti ada sesuatu yang menggembirakan hati Irah kan? Kalau tak takkan sampai tersenyum sendirian.” Selidik umi tidak dapat kulawan lagi.


“Tak ada apa-apa umi.” Balasku ringkas bertujuan umi tak menyoalkan lagi.


“Ermmm... ye ke? Umi tak merasakan begitu. Tentu ada ikhwan yang sudah bertandang di hati Irah ya.” Tebak umi kelihatan pasti. ‘Aduhhh.. nak putar bicara apa lagi dengan umi ni. Menyelami betul hatiku ini’ getusku lagi.


“Mana ada umi.” Jawabku tegas dan agak malu sedikit.


“Hehe… jangan malu sayang. Kalau sudah berkenan, khabarkan pada umi. Biar kita mulakan sebagaimana Khadijah memulakan melamar Nabi melalui perantaraan. Kalau memang sudah ingin bernikah, katakan saja pada umi juga abi. Insya`allah tidak akan ada ikhwan yang akan menolak dinikahkan dengan anak kesayang umi yang seorang ini. Yang cantik dan berpengetahuan!” Umi kelihatan serius. Aku tidak tahu apa yang dirasa diri.


“Mana ada yang akan menolak dinikahi seorang akhowat yang cantik begini, aktif berorganisasi, apalagi hobinya tilawah, berkarya juga membaca tafsir!” Tambah umi lagi.


“Umiii niii...” Jawabku dengan manja. Ummi hanya tersenyum, sambil memeluk kepala juga mengusap mesra jemari kananku.


‘Aku tidak sepadan sekali dengan ikhwan yang aku impikan itu. Hanya untuk melihat pun aku tidak sanggup. Apalagi memilikinya. Sungguh sangat mustahil!’ Gumamku dalam hati.


***


“Umi, itu bagus juga! Warnanya secocok dengan tudung yang ini!” Usulku sambil mengambil contoh beberapa penutup kepala.


“Ya, yang itu amat bagus. Kainnya halus. Cantik memang. Warnanya juga tidak terang sangat.” Jawab Umi.


“Ermm… ya umi! Ya sudahlah umi, ambil yang itu sajalah.” Umi mengangguk tanda setuju.


“Puan, bagi yang ini ya!” Ucap Umi kepada pekerja butik itu.


Saat kami ingin bergegas keluar dari Butik Muslimah itu, aku terlihat seorang akhowat, yang sedang memilih jubah. Jelas aku melihatnya. Dan benar dia adalah temanku. Ukht Ainul.


“Assalamualaikum..” Salam kuberikan, saat mendekati akhowat itu.


“Ehh… Waalaikumussalam!” Jawabnya sambil senyuman dihadiahkannya.


“Wah.. banyak borong ukht?” Tanyaku Ainul hanya senyum.


“Mana ada borong ukht. Ana beli apa yang patut dan mengikut keperluan sahajalah. Ukht yang borong ya? hehee..”


“Oh, taklah ukht. Ana temankan umi sahaja” Ucapku dengan membalas senyumannya. Sambil telunjukku menunjuk ke arah umi.


“Oh, ye ke?” Ainul hanya tersenyum. Sambil mendapatkan umi dan menyalamnya.


“Oklah ukht Ainul. Ana beransur dulu ya.” Ucapku sambil menyalami dan memeluknya. Erat. Dialah sahabat tika dibangku sekolah lagi. Kerap juga aku menghubunginya. Lewat sms juga telefon. Kadang-kadang bertandang ke rumah.


“Assalamualaikum..” ucapku padanya. Sambil beriringan keluar dari Butik Muslimah bersama umi setelah salam dijawabnya.


***


Entah mengapa. Aku terus mengingat Akh Ridzuan. Bayang-bayangnya wujud di alam bawah sedarku. Sejak aku melihatnya beberapa hari lalu. Aku semakin menganggumi seorang Ridzuan. Ikhwan yang tegar, dalam balutan singgahsana keimanan. Meskipun terlihat sangat kekurangan harta, tetapi ikhwan yang satu ini. Tidak pernah meminta sesuatu hal yang akan merendahkan harga dirinya. Aku sangat bangga dapat bekerjasama dengannya.


Hari ini aku tiada urusan mahupun program apa-apa. Memang hari ini aku ingin beristirehat sepenuhnya.Aku tidak mahu diganggu mahupun disibukkan dengan kegiatan-kegiatan dakwahku seperti dulu. Bukannya kerananya aku futhur. Tidak, aku tidak futhur. Tetapi aku sedang didatangi tamu bulanan. Seperti persoalan lainnya, akhowat juga insani. Yang merasakan tidak sihat, jika datang waktu itu. Hanya untuk saat seperti ini. Dan hanya satu hari ini sahaja.


Kedengaran Hpku berbunyi bernadakan lagu Tema Perjuangan.


Berjuanglah wahai ansorullah

dengan matlamat daulah islamiyyah

Berkorbanlah wahai yang beriman

dengan harta dan segenap kepunyaan

Bergeraklah ke gerbang jasa

Kalah menang bukan alasannya

Berjihadlah dengan niat dihati

Hingga nyata benarnya janji Rabbi


Sengajaku biarkan hp hingga ke deringan terakhirnya. Lantas kusahut. Butang hijau kutekan.


‘Ohh, nombor tak dikenali lagi. Mesti berhati-hati ni’ kata hati kedengaran.


“Assalamualaikum Warahmatullah.”


“Waalaikumsalam. Wah panjang sekali salamnya” balas dihujung talian.


“Ini siapa ya?” Tanyaku penasaran.


“Hehehee... alahai sayang. Dah lupa dengan abang ya. Hehe.. sampai hati!” Ucapnya. ‘Siapa ni. Abang mana pula ni?’ getus hatiku.


“Ini siapa?” Ucapku tegas. Ingin tahu. Kerana aku tidak dapat mengingat akan suara di hujung sana.


“Wah… benar-benar aku sudah dilupakan ya! Ini abanglah, Arif!”


‘Ha.. Arif! Anak Uncle Johari. Dia ini lagi! Huh..’ Gumamku dalam hati.


“Oh, Arif! Apa kabar? Bila enta pulang dari Australia?” Tanyaku berbasa-basi. Tak pernah aku mebahasakan dirinya abang. ‘Perasan sendiri.’


“Abang pulang kelmarin. Abang ok je. Abang rindu sangat kat Athirah. Athirah rindu tak kat abang?”


‘Huuhhh… apa kenalah dia ni? Tak sopan langsung. Macam tak pernah belajar akhlak. Ni nak aku panggil abang. Tak tahu adab langsung!!’


“Oh.” Jawabku datar.


“Abang tau sayang tentu rindu juga dengan abang kan. Jom pergi jalan-jalan dengan abang sayang. Sayang pasti suka kan.”


“Maaf ana sibuk sekarang!” Jawabku tegas. Ingin sahaja aku sampaikan tentang hijab dengan yang bukan mahram. Dan yang paling meluap dihati, ingin sahaja aku memutuskan talian tanpa meminta pamit.


“Ahh.. kamu dari dulu tetap begitu! Kalau begitu biar abang ke rumah kamu saja ya?”


“Maaf ana banyak urusan! Oklah Arif. Wassalamualaikum..” Ucapku sambil mengakhiri perbualan dan mematikan panggilan hp.


Arif, anak uncle Johari. Seorang ahli perniagaan yang berjaya. Tetapi sayang sekali anak-anaknya tidak dihidangkan dengan pendidikan agama seperti yang dituntut. Mulai dari sekolah lagi, Arif selalu ingin mendekatiku. Tetpi aku tidak melayaninya langsung. Kebetulan ayahnya mengenali abiku. Walau dah kerap diajak mendengar pengajian, pelbagai alasan diberikan. Namun, alhamdulillah abi dan umi sangat menjaga hijabku dengan sesungguhnya. Untunglah umi abiku tidak mengumpulkan harta yang berlimpah ruah. Tetapi sekadarnya juga yang lebih di berikan kepada yang sepatutnya.


‘Kalaulah orang tuaku menyukai dunia dan isinya, kekayaan juga harta benda. Pastilah dengan segera aku dinikahkan dengan Arif. Tapi, untunglah orang tuaku termasuk mujahid dan mujahidah dakwah. Alhamdulillah..’


Dengan apa yang ada, yang aku miliki. Aku sangat bersyukur. Beberapa usaha abi sudah maju. Lebih hebat dengan keluarga Arif. Perusahaan-perusahaan abi bahkan sudah menerapkan system management yang sangat bagus berteraskan Syariat Islam. Tidak seperti perusahaan-perusahaan yang lainnya. Dengan cara itulah, perusahaan abi semakin lama samakin maju pesat. Benar-benar barakah kurnian yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata`ala kepada keluargaku. ‘Alhamdulillah...’ hatiku mengucapkannya denga senyuman terukir sedirian.


Telah beberapa kali Arif bertandang ke rumahku, dulu. Dengan sopan aku menemaninya, walau dalam hati meronta tidak ingin sedemikian. Tentunya ditemani abi yang setia di sampingku. Agak lucu di saat mengenangkannya kembali. Arif menjadi kekok tika berbicara. Kelakuannya pula terlihat kaku. Sangat tidak selesa sekali baginya begitu. Setelah pulang ke rumah, Arif pasti akan menghubungiku. Lalu dia akan mengatakan aku yang bukan-bukan. Bukan setakat itu, dia juga mengata abi dan umi. Berfikiran kolotlah, kunolah, mengongkong anaknyalah, busy bodylah, tak open minded lah, dan macam-macam lagi kata-kata yang membuat aku tidak senang malahan sesiapa sahaja sepertiku tidak betah mendengarkannya. Maklumlah abi dan uminya dikutuk sedemikian rupa. Tetapi tetap aku membalasnya dengan sopan. Kerana sering ingat akan pesan umi juga abi tentang hadits penguat diriku, ‘As sobaru minal iman, sabar itu sebahagian dari iman.’


“Oh, ana senang sekali dengan sikap ambil berat mereka. Dan ana sangat merasakan dilindungi dengan sedemikian. Ok ya, ana nak tidur. Sudah tiba masanya. Assalamualaikum..” ucapan inilah yang sering kubalas setelah dikutuk sebegitu. Dan terus aku mematikan panggilan hp.


Tiba-tiba ingatanku melayang teringatkan Akh Ridzuan. Dia kerap menghubungi akhowat termasuk aku dengan menggunakan kemudahan hp sahabat serumahnya atas urusan tertentu juga kadang-kadang atas tujuan bertanyakan khabar juga menguji tahap keilmuan dan kesopanan akhowat. Kerana aku sendiri telah merasainya. Makanya itulah yang dapat aku simpulkan atas panggilan yang dibuatnya.


Banyak juga caranya yang aku tidak senang dulu. Seakan busy body. Namun akhirnya aku sendiri jadi malu terhadapnya. Hingga 2 penggal aku menjadi setiausahanya di BDDPI MPP. Walaupun aku tidak menyukainya pada awal nya. Namun segala yang aku sangkakan tentangnya jauh sekali. Akh Ridzuan seorang yang cukup istiqomah dalam perjalanan dakwahnya. Hingga akhirnya hatiku luluh dibuatnya. Namun, walau aku setiausahanya, kewajipan hijab dengannya senantiasa aku pegang apalagi dia.


Alunan bacaan ayat-ayat suci Al-Quran sayup menyinggahi telingaku dari bacaan Sheikh Sa`id Al Ghamidi dari MP4 ditangan. Getaran hati serasa di setiap alunan tilawah itu. Bagai ingin mengalir air mata mengenangkan dosa-dosa silam yang sering menjadikan aku lalai mengingati dan menjalankan kewajipan pada Rabbul `izzati. Alpa dengan suruhanNya. ‘Ya Allah, ampunilah aku yang berdosa ini’ keluh hatiku meluah. Dan air mata pun menitis satu persatu


*** Bersambung